News

KPPU Sidangkan Perkara Pinjol Rp1.650 Triliun

Sebarkan:

 

Ketua KPPU M Fanshurullah Asa. 


JAKARTA | radarsumut: 

  Untuk menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat di sektor keuangan digital. Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) segera menyidangkan dugaan pelanggaran kartel suku bunga di industri pinjaman online (pinjol) dalam Sidang Majelis Pemeriksaan Pendahuluan yang akan dilaksanakan dalam waktu dekat.

  Deswin Nur, Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU menyebutkan hal itu dalam siaran persnya diterima melalui Kepala Kanwil I KPPU Ridho Pamungkas, Rabu (30/4/2025).

   Ketua KPPU M Fanshurullah Asa mengatakan
langkah ini menandai eskalasi serius atas temuan indikasi pengaturan bunga secara kolektif di kalangan pelaku usaha pinjaman berbasis teknologi.

  Penyelidikan KPPU mengungkap adanya dugaan pelanggaran Pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Sebanyak 97 penyelenggara layanan pinjaman online yang ditetapkan sebagai Terlapor diduga menetapkan plafon bunga harian yang tinggi secara bersama-sama melalui kesepakatan internal (eksklusif) yang dibuat asosiasi industri, Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI).

  Ditemukan bahwa mereka menetapkan tingkat bunga pinjaman (yang meliputi biaya pinjaman dan biaya-biaya lainnya) yang tidak boleh melebihi suku bunga flat 0,8 persen per hari, yang dihitung dari jumlah aktual pinjaman yang diterima oleh penerima pinjaman yang kemudian besaran tersebut diubah menjadi 0,4 persen per hari pada tahun 2021.

 “Kami menemukan adanya pengaturan bersama mengenai tingkat bunga di kalangan pelaku usaha yang tergabung dalam asosiasi selama tahun 2020 hingga 2023. Ini dapat membatasi ruang kompetisi dan merugikan konsumen,”ucapnya. 

  Dalam melakukan penyelidikan, KPPU telah mendalami model bisnis, struktur pasar,
hingga pola keterkaitan antar pelaku di industri pinjol. Model bisnis pinjaman online di Indonesia mayoritas menggunakan pola Peer-to-Peer (P2P) Lending, menghubungkan pemberi dan penerima pinjaman melalui platform digital.

  Berdasarkan regulasi Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), seluruh penyelenggara wajib terdaftar dan menjadi anggota asosiasi yang
ditunjuk, yaitu AFPI. Namun, struktur pasar menunjukkan cukup tingkat konsentrasi tinggi. Per Juli 2023, terdapat 97 penyelenggara aktif, dengan dominasi pasar terpusat pada beberapa pemain utama, antara lain: KreditPintar (13 persen pangsa pasar), Asetku (11 persen), Modalku (9 persen), KrediFazz (7 persen), EasyCash (6 persen) dan AdaKami (5 persen).

 “Sisanya tersebar pada pemain-pemain
dengan pangsa minor. Konsentrasi pasar diduga semakin kuat dengan adanya afiliasi
kepemilikan atau hubungan mereka dengan platform e-commerce,”tandasnya. 

  Berdasarkan hasil penyelidikan dan pemberkasan, KPPU melalui Rapat Komisi
tanggal 25 April 2025 memutuskan untuk menaikkan kasus ini ke tahap Sidang Majelis
Pemeriksaan Pendahuluan. Agenda sidang ini bertujuan menyampaikan dan menguji validitas temuan, serta membuka ruang pembuktian lebih lanjut.

  Jika terbukti melanggar, para pelaku
usaha dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda hingga 50% dari keuntungan dari pelanggaran atau hingga 10 persen dari penjualan di pasar bersangkutan dan selama periode pelanggaran.

  KPPU menekankan bahwa penanganan kasus ini merupakan bagian dari upaya menjaga ekosistem persaingan usaha yang sehat di sektor keuangan digital. Industri fintech
dinilai memiliki peran strategis dalam mendorong inklusi keuangan. Sehingga praktik-praktik anti-persaingan harus dihentikan dan dicegah sejak dini karena berdampak luar biasa bagi masyarakat, khususnya bagi masyarakat kecil dan menengah.

  Hal tersebut dapat dilihat dari ukuran pasar ini yang cukup signifikan dimana hingga pertengahan bulan 2023 telah tercatat sebanyak 1,38 juta pemberi pinjaman aktif, 125,51 juta akun peminjam terdaftar, dengan akumulasi pinjaman yang telah diberikan mencapai Rp829,18 triliun.

  Bahkan menurut Bank Dunia, Indonesia memiliki credit gap (kesenjangan kredit) atau kebutuhan pembiayaan yang tidak terpenuhi oleh lembaga keuangan tradisional
yang mencapai Rp1.650 triliun pada tahun 2024.

 Ini menjadi salah satu faktor yang
mendorong pertumbuhan industri pinjaman online di Indonesia. KPPU memperkirakan,
eskalasi perkara ini berpotensi membawa konsekuensi besar bagi lanskap pinjaman online di Indonesia.

 “Melalui penegakan hukum ini, KPPU meminta agar regulator dapat memperbaiki revisi
standar industri, memperketat kontrol terhadap asosiasi, mengubah pola bisnis pinjol, hingga memicu penurunan bunga pinjaman ke tingkat yang lebih kompetitif. Dari sisi konsumen, penegakan hukum ini menjadi sinyal positif terhadap perlindungan hak peminjam dan efisiensi biaya layanan keuangan digital,” jelas Ifan, sapaan akrab Ketua KPPU.

  Hingga rilis ini dikeluarkan, KPPU masih mengagendakan susunan Tim Majelis yang
akan memeriksa dan jadwal sidang perdana perkara tersebut. (rel/gib) 


Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini