-->

News

Disoal, Surat Kades Bandar Klippa Picu Kisruh Proyek TP3SR, Lahan Eks PTPN II Jadi Ajang Klaim ‎

Sebarkan:

 

Lokasi Pengolahan dan Pemrosesan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TP3SR) Pasar XII, Desa Bandar Klippa. 

‎Deliserdang| radarsumut: 

   Pembangunan Tempat Pengolahan dan Pemrosesan Sampah Reduce, Reuse, Recycle (TP3SR) Pasar XII, Desa Bandar Klippa, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, dihentikan oleh warga yang mengaku memiliki lahan tersebut. 

  Proyek pemerintah daerah di atas lahan eks perkebunan PTPN II itu dihentikan setelah Kepala Desa Bandar Klippa menerbitkan surat yang kemudian dijadikan alat legitimasi oleh para penggarap untuk mengklaim kepemilikan bangunan.
‎ Pantauan awak media, Kamis (25/12/2025) sekitar pukul 13.00 WIB, aktivitas pembangunan sempat dihentikan paksa oleh sekelompok warga yang mengaku memiliki hak atas lahan tersebut. Mereka menunjukkan dua surat resmi yang ditandatangani Kepala Desa Bandar Klippa, Suripno, SH, MH, sebagai dasar penghentian pekerjaan.
‎ Dua surat dimaksud yakni Nomor 470/4427/2025 dan Nomor 470/4426/2025, tertanggal 23 Desember 2025, yang masing-masing menerangkan kepemilikan bangunan atas nama Ahmad Yaser Daulay dan Suparman, serta Ari Dian Permata Aritonang dan Marwan Syahputra.
‎Ironisnya, lokasi yang sama sebelumnya telah ditegaskan tidak memiliki pemilik lahan, sebagaimana tertuang dalam surat Kepala Desa Bandar Klippa sendiri Nomor 150/4317/2025, yang dikeluarkan pada Desember 2025 dan telah diagendakan Camat Percut Sei Tuan, Fitriyan Syukri.
‎Terbitnya dua surat baru tersebut memunculkan tanda tanya besar: mengapa dalam kurun waktu berdekatan, kepala desa menerbitkan surat yang saling bertolak belakang di atas objek lahan yang sama?
‎Dengan berbekal surat tersebut, para penggarap menghentikan proyek TP3SR yang tengah dikerjakan pemerintah Kabupaten Deli Serdang. Mereka mengklaim memiliki dasar hukum untuk menuntut kompensasi penggantian lahan.
‎Salah seorang penggarap, Edi, mengakui bahwa surat tersebut sengaja diminta kepada kepala desa untuk kepentingan negosiasi ganti rugi dengan Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman (Perkim).
‎“Kami memang minta surat itu ke pak kades, karena arahan dinas perkim agar ada surat penguasan fisik. Katanya bisa jadi dasar minta tambah kompensasi. Kami sudah jumpa Kadis Perkim, pak Suparno di wings hotel, sudah sepakat akan ada penambahan harga. Tapi setelah surat jadi, tidak ada kejelasan lagi dari beliau” ujar Edi.
‎Edi menambahkan bahwa penghentian ini agar ada reaksi dari dinas perkim untuk menindaklanjuti hasil kesepakatan diantara mereka.
‎Pengakuan ini mempertegas bahwa surat kepala desa telah digunakan sebagai alat tawar bahkan legitimasi untuk menghentikan proyek pemerintah, diatas  lahan tersebut.
‎Kepala Desa Bandar Klippa, Suripno, tidak menampik telah menerbitkan surat tersebut. Ia berdalih, penerbitan dilakukan atas permintaan warga yang mengaku mendapat arahan dari Kepala Dinas Perkim.
‎“Kita hanya membantu warga, Katanya arahan dari pak Suparno, Kadis Perkim. Makanya kita buat suratnya. Tapi surat itu bukan untuk menghentikan pekerjaan. Kalau soal hak, harusnya dituntut ke pak Suparno bukan pemborong,” kata Suripno.
‎Pernyataan tersebut justru memperlebar persoalan, karena surat kepala desa yang semestinya bersifat administratif kini berimplikasi langsung pada terhentinya proyek strategis daerah.
‎Menanggapi klaim tersebut, Kepala Dinas Perkim Deli Serdang, Suparno, menegaskan bahwa pihaknya telah lama meminta para penggarap hadir untuk menyelesaikan persoalan secara prosedural, namun tidak pernah datang.
‎“Dari awal sudah kita minta, bang, tapi tidak hadir. Prosesnya sudah kita koordinasikan ke pengadilan,” tegas Suparno.
‎Langkah konsinyasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah daerah memilih jalur hukum untuk menyelesaikan klaim lahan, bukan negosiasi informal di lapangan.
‎Potensi Pelanggaran Administrasi
‎Kisruh ini memunculkan dugaan cacat administrasi dalam penerbitan surat oleh kepala desa. Pasalnya, lahan yang disengketakan diketahui merupakan eks aset PTPN II dan tengah digunakan untuk kepentingan publik, yakni pembangunan TP3SR.
‎Terbitnya surat keterangan kepemilikan bangunan di atas lahan sengketa dinilai berpotensi menimbulkan konflik, menghambat proyek pemerintah, serta membuka ruang penyalahgunaan kewenangan di tingkat desa.
‎ Publik kini menunggu langkah tegas Pemerintah Kabupaten Deli Serdang dan aparat pengawas untuk memastikan pembangunan tidak dikalahkan oleh surat administratif yang menimbulkan polemik dan ketidakpastian hukum. (drik) 





Sebarkan:
Komentar

Berita Terkini